Resensi Buku Fiksi Sejarah: Laut Bercerita

Judul
buku : Laut Bercerita
Penulis
buku : Leila S. Chudori
Penerbit
buku : Kepustakaan Populer Gramedia
Kota
terbit : Jakarta
Tahun
terbit : 2017
Cetakan
ke : 2
Jumlah
halaman : 379 halaman
ISBN : 978-602-424-694-5
Sinopsis :
Novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori ini
berkisahkan tentang perjuangan, penghianatan, penyangkalan, dan kehilangan yang
sangat menyayat hati. Kisah ini diawali pada tahun tahun 1991 dimana Laut dan
kelima temannya mencari tempat untuk diskusi mahasiswa di Seyegan. Harga yang
murah membuat Kinan membeli rumah itu walaupun Kinan harus memanggil para
seniman Taraka untuk mengecat tembok. Di situlah awal pertemuan Laut dengan
Anjani. Akhirnya Laut kembali ke rumahnya setelah tiga bulan pergi. Bapak dan
ibu menanyakan kesibukan Laut, mereka khawatir Laut mengikuti diskusi mahasiswa
namun Laut menepisnya.
Tahun 1996, Laut beserta anggota Wirasena,
Winatra dan Taraka dari berbagai daerah pergi untuk mengikuti tanam paksa di
daerah Blangguan, namun hal ini gagal karena niat mereka telah diketahui para
intel. Akhirnya, mereka kembali ke Yogyakarta dengan bis umum. Sayangnya, para
intel mengikuti dan menangkap mereka. Mereka diintrograsidan disiksa
menggunakan penggaris besi. Setelah semalaman, mereka dilepaskan dan dibawa ke
klinik. Ketika Laut diangkat menjadi wakil ketua Winatra dia harus pindah ke
Jakarta karena Yogyakarta sudah tidak aman. Di Jakarta selain sibuk melakukan
demo, laut juga sibuk menulis ceritanya dan mengirimkan ke surat kabar.
Tahun 1998, setelah Sunu hilang. Lima orang
besar mengepung rumah susun di daerah Klender milik Laut dan menculik Laut. Dia
dibawa ke suatu tempat dan disiksa. Paginya, Laut dipindahkan ke ruang tahanan
dengan kelima temannya. Saat itulah Sunu dibawa paksa dan tidak kembali entah
kemana dan digantikan oleh Naratama. Hal yang paling mengejutkan mereka karena
selama ini mereka menganggap Naratama sebagai intel karena pemikirannya yang
selalu berbeda. Yang mengejutkan lagi disaat Laut kembali ke ruang penyiksaan
ia bertemu dengan Gusti anggota Winatra yang sedang memotretnya. Setelah
penyiksaan berakhir, Laut dibawa paksa ke suatu tempat menggunakan mobil.
Ternyata Laut dibawa ke suatu tebing yang dibawahnya laut lepas, kakinya diberi
pemberat dan tangannya diborgol lalu, dijatuhkan dari tebing.
Di rumah keluarga Arya, mereka selalu menunggu
anak sulung mereka kembali walaupun dua tahun terakhir tidak ada kabar. Sampai
suatu hari mereka bertemu dengan Alex yang telah bebas dan tetap berharap bahwa
laut akan kembali seperti Alex. Lalu, terdengar ada kabar bahwa ditemukannya
tulang berulang di Pulau Seribu yang diketahui masih baru sehingga Asmara,
Alex, dan Coki menyelidikinya. Sayang, kabar ini hanya desas-desus belaka. Saat
kabar itu mereka sampaikan di diskusi para orangtua yang anaknya hilang, para
orangtua hanya pasrah.
Sayangnya, bapak dan ibu malah tetap berada
dalam kepompong dan meyakini bahwa Laut masih tertangkap. Hal ini membuat
Asmara malas untuk berkunjung ke rumah sampai bapak meninggal. Pada suatu sore
ibu tertidur di kamar Laut, disitu Asmara bercerita kepada ibunya dan berkata
untuk tidak larut dalam kesedihan, karena asmara selama ini juga sedih melihat
kedua orangtuanya hidup dalam kepompong dan melupakan fakta bahwa Asmara adalah
anak mereka juga. Tahun 2007 disaat Asmara akan demo menindaklanjuti pencarian
tiga belas orang yang hilang, ia bertemu ibunya. Ia sangat bersyukur, akhirnya
ibu keluar dari zona nyaman dan mulai menghadapi kenyataan.
Leila S. Chudori memang sosok penulis yang
sangat berkarakter sehingga hal itu tampak pada setiap novel yang ditulisnya
yang menceritakan tentang perjuangan. Walaupun secara garis besar menceritakan
tentang perjuangan Laut, namun Leila tidak melupakan emosi yang dirasakan oleh
orang-orang yang kehilangan orang yang dicintainya, salah satunya Asmara. Pada
bab Asmara ini sangat menyayat hati diceritakan bahwa ia harus tegar dimana ia
kehilangan kakaknya, ayah ibunya masih hidup dalam kesedihan, dan pacarnya yang
trauma akibat penangkapan. Alur cerita ini bersifat campuran, namun mudah untuk
dipahami.
Sayangnya, dibalik kelebihan terdapat
kekurangan. Kekurangan buku ini adalah adanya kesalahan penulisan. Seperti
terdapat di halaman 133 penulisan matamu seharusnya mataku, pada halaman 165
terdapat penulisan di yang diulang dua kali, dan halaman 369 penulisan waktu
hanya tertulis waku.
Novel ini cocok dibaca untuk
orang-orang yang ingin mendalami tema penghilangan orang secara paksa melalui
aras psikologi korban atau bagi orang-orang yang mencari bacaan yang dapat
membawa suahsana karena pembaca akan dipermainkan dalam emosi
karakter-karakternya hingga akhir cerita.

Komentar
Posting Komentar
Komen? Silahkan :)